Dari mana asalnya kebiasaan makan tiga kali sehari?

 Itu bukan hukum alam, tapi hasil konstruksi budaya dan sejarah.

Kalau kamu bayangin manusia prasejarah, mereka makan kapan aja begitu ada makanan. Nggak ada konsep sarapan, makan siang, apalagi “dinner date”. Jadi premis pertanyaannya valid, karena memang kebiasaan ini ada asal-usulnya, bukan bawaan lahir.

Awalnya, di Eropa abad pertengahan, orang kebanyakan makan cuma dua kali sehari. Sarapan malah dianggap kebiasaan orang miskin atau pekerja kasar, karena orang kelas atas biasanya baru makan besar sekitar jam 10 pagi dan sekali lagi malam hari. Baru masuk abad ke-18 sampai 19, terutama di Inggris, industrialisasi bikin ritme makan berubah. Pekerja pabrik butuh energi stabil untuk shift panjang, dan di sinilah mulai terbentuk pola makan tiga kali: sarapan sebelum kerja, makan siang singkat, lalu makan malam sepulang kerja.

Yang menarik, di banyak budaya non-Barat pola ini enggak selalu sama. Orang Mediterania, misalnya, punya tradisi siesta dengan makan utama justru di siang hari. Sementara di Jepang sebelum modernisasi, makan dua kali sehari lebih umum, dengan porsi besar di pagi dan sore. Jadi konsep tiga kali sehari itu lebih ke hasil adaptasi sosial dan ekonomi, bukan kebutuhan biologis mutlak. Tubuh manusia sebenarnya fleksibel, bisa berfungsi baik dengan pola makan yang berbeda.

Kalau dipikir, makan tiga kali sehari lebih gampang buat dikomersialisasi. Bayangin industri makanan cepat saji, iklan sereal sarapan, atau restoran yang pasang menu lunch khusus. Kebiasaan ini jadi norma karena ada keuntungan ekonomi besar di baliknya. Jadi bukan cuma soal nutrisi, tapi juga kapitalisme yang memolesnya.

Mungkin ada yang mikir, “Tapi kan dokter juga bilang makan 3 kali sehari itu sehat.” Ya, benar, tapi catat: standar kesehatan modern dibangun di atas pola yang sudah terlanjur jadi norma budaya. Bahkan sekarang tren diet puasa intermiten menunjukkan orang balik lagi ke pola dua kali makan atau bahkan satu kali besar per hari. Artinya, tiga kali sehari itu bukan aturan emas, cuma tradisi yang terbukti praktis di masyarakat industri.

Kalau ditarik ke pertanyaan awal, kebiasaan ini lahir dari Eropa modern, diperkuat revolusi industri, lalu diekspor ke seluruh dunia lewat kolonialisme, perdagangan, dan media. Dan sekarang kita anggap itu “normal”. Padahal, normal itu relatif.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

VIRAL PADA MASANYA!!! Tragedi Kecelakaan Maut Bus Madu Kismo 2015

Apa 15 idiom keren yang wajib diketahui?

Ilmu pengetahuan itu tidak mengenal mana yang baik dan mana yang jahat.