Bagaimanakah rasanya menjadi pasien skizofrenia?
Ayahku seorang pengidap skizofrenia. Telah lama ia didera sakit, bahkan sedari aku masih kanak-kanak, kelas satu sekolah dasar. Sejak itu, dokter jiwa sudah menjadi persinggahannya, Rumah Sakit Jiwa juga sudah sering menjadi tempat persemayamannya sementara. Namun, kesembuhan tak jua menghampiri, barangkali karena telat ditangani, atau barangkali memang takdirnya. Hingga di akhir tahun ke-16 hidupku, penyakit itu akhirnya pergi, tetapi nyawanya pun turut serta. Ayahku berpulang, kisahnya berakhir di sana.
Tentu, rasa kehilangan itu ada, tetapi hatiku lebih lega. Setidaknya kini ia tak perlu lagi menanggung penderitaan. Mungkin, bagi mereka yang tak tahu kisahnya, aku adalah anak paling durhaka sedunia, lantaran tak banyak air mataku luruh saat kabar itu datang. Padahal, hatiku perih, tetapi belasan kali percobaannya mengakhiri hidup sendiri dan nyawa orang lain itu sudah cukup membuat air mataku habis. Syukurnya, semua usahanya dahulu selalu berhasil digagalkan. Dan untungnya, beliau berpulang bukan karena hal itu pula, melainkan karena sakit fisiknya.
Aku sungguh bernapas lega. Separuh hidupnya itu sudah ia habiskan dalam keputusasaan, perceraian dengan ibu, terpaksa harus kehilangan pekerjaan, dan tahun-tahun panjang yang ia jalani bak seorang yang tak ada kehidupan.
Beberapa hari setelah kepergiannya, saat bendera kuning yang sempat berkibar di pagar rumah kami dilepas, kami mulai membersihkan kamar yang selama ini menjadi dunianya. Di sanalah aku menemukannya, sebuah buku lusuh yang sedari dulu selalu membuatku penasaran. Buku yang sering kali kutemukan dalam genggamannya, tempat ia menulis entah apa yang ada di benaknya.
Aku membawanya masuk ke kamarku. lembar demi lembar kubuka, dan di sanalah, kisah yang ingin ia tuturkan akhirnya tersampaikan. Kisah yang mungkin akan membuatmu sedikit paham bagaimana rasanya hidup dalam bayang-bayang skizofrenia. Mungkin hanya satu lembar yang bisa aku bagikan disini, untuk tetap menjaga privasi.
Umur makin dekat, hidup ini seperti sia-sia. Hidupku sungguh tak berguna buat keluargaku.
Rabu, 26 Mei 2021
Aku lelah tiap hari tiap malam dibully terus sama TV dan radio dan suara eksternal lainnya. Cape pikiranku, lelah tubuhku, lelah hatiku, semuanya itu takdir, aku harus ikhlas menjalani itu, mungkin ini jalanku untuk masuk surgamu.
Tiap hari, selalu iblis bisikan bunuh diri terus di pikiranku. Allah Maha Tau dan Maha Pengampun, semoga jalan hidup dimasukan ke dalam surga. Amin…
Tiap lembarnya selalu berisi keputusasaan semacam itu, dan seringkali menceritakan masalah keluarga oleh karenanya tidak dapat aku bagikan disini.
Sayangnya, beliau berhenti menulis pada bulan Oktober 2021, atau mungkin saja ada buku baru yang belum aku temukan.
Edit: Terimakasih banyak atas semua doanya di kolom komentar, mohon maaf saya tidak bisa menjawab semua komentar satu satuππ
Komentar
Posting Komentar