Mengenal pribumi yang kaya raya pada saat penjajahan .
Kalau kamu berpikir crazy rich itu cuma fenomena zaman sekarang, tandanya kamu belum kenalan dengan Tasripin, juragan pribumi/bumiputera kaya raya asal Semarang di abad ke-19. Kekayaannya diperkirakan mencapai 45 juta gulden, yang kalau dikonversi ke nilai sekarang, setara dengan Rp 7 triliun. Iya, TRILIUN. Bahkan crazy rich zaman kini mungkin minder.
Tasripin bukan asal kaya, loh. Ia lahir di Kadipaten Roma (sekarang Karanganyar, Kebumen) dari keluarga pedagang. Ayahnya, Tassimin Koetjeer, menjalankan usaha penyamakan kulit, bisnis yang waktu itu kayak punya startup unicorn. Setelah sang ayah meninggal, Tasripin melanjutkan usaha itu, dan plot twist: dia gak cuma melanjutkan, tapi malah jadi konglomerat.
Penyamakan kulit pada masa itu memang bisnis keren. Kulit hewan dipakai untuk bikin tas dan sepatu yang lagi hits. Tasripin makin pintar dengan membuka rumah jagal hewan sendiri—ibarat punya supplier in-house gitu. Dengan bahan baku lancar, bisnisnya tumbuh pesat di Jawa Tengah, khususnya Semarang. Dia juga punya kebun kopra, kapas, dan vanili di Ungaran dan Srondol, plus armada kapal buat ekspor dagangannya via Pelabuhan Kali Semarang.
Masih kurang? Tasripin juga dikenal sebagai tuan tanah. Dia punya banyak properti yang disewakan ke orang Belanda dan Tionghoa. Salah satu prestasi fenomenalnya adalah mendirikan pabrik es batu di Jalan Karreweg (sekarang Jalan Cipto Mangunkusumo) pada 1910. Bayangkan, zaman itu belum ada AC atau kulkas, jadi es batu kayak barang mewah. Pabrik itu memproduksi 800 pon es setiap hari—bisa dibilang, Tasripin adalah “bapak ojek online es batu” era kolonial.
Tasripin juga pintar membangun relasi. Ia dekat dengan pemerintah Belanda dan bahkan menerima penghargaan koin emas dari Ratu Wilhelmina, yang dipasangnya di lantai rumah. Mungkin supaya tamu yang masuk langsung tahu, “Ini rumah crazy rich, Bro.”
Saat Tasripin meninggal pada 1919, kekayaannya mencapai 45 juta gulden, dengan penghasilan bulanan sekitar 35.000–40.000 gulden. Sebagai perbandingan, gaji rata-rata orang Hindia Belanda waktu itu mungkin cuma cukup buat makan tahu tempe.
Sisa-sisa kejayaannya masih bisa dilihat hingga kini, seperti Kampung Kulitan di Semarang, Masjid At-Taqwa Kulitan, dan badan usaha Tasriepin Concern yang beroperasi hingga 1950-an. Tasripin membuktikan bahwa pengusaha pribumi bisa sukses besar meski hidup di era penjajahan. Kalau dia hidup di zaman sekarang, kayaknya masuk Forbes Asia deh.
Komentar
Posting Komentar